Sepulang bertualang malam ini saya tiba di rumah terlalu cepat, mau tidur tapi pikiran masih saja liar menjuru (jorok) entah kemana-mana. Beberapa jam berlalu saya baru sadar dan teringat kalau tadi belum singgah di simpang tugu kapal dekat balai desa, tempat nongkrong yang selalu ramai pengunjung delapan bulan terakhir. Beranjak dari tempat tidur yang tadinya sempat menggoda, saya langsung mengambil pakaian dan bergegas kesana.
Boendaran Coffee, ini adalah salah satu dari beberapa kafe di desa ini yang buka hingga larut malam. Di balik ramainya kafe ini rupanya tersimpan sebuah cerita yang menjadi motivasi bagi pemiliknya.
Ceritanya..... Suatu malam sekitar pukul 23.00 wib ia sedang dalam perjalanan pulang, mengendarai mobilnya dari arah Tanjung Uban menuju Sei Kecil, Desa Sebong Lagoi. Di jalan ia melihat beberapa orang remaja mengalami kecelakaan sepeda motor. Ia menepikan kendaraan dan berusaha menolong, syukur anak-anak itu tidak apa-apa. Rupanya mereka juga dari Tanjung Uban, hendak pulang ke rumah usai mengerjakan tugas sekolah. Gara-gara wifi di desa lemot, maka mereka memutuskan pergi ke Tanjung Uban mencari kafe dengan koneksi wifi yang lebih bagus.
Setelah kejadian itu ia terpikir, kalau anak-anak di desa sampai ke Uban hingga larut malam cuma buat kerja tugas atau nongkrong cari wifi itu cukup kasihan, bisa menimbulkan berbagai resiko. Mengapa tidak memasang wifi yang bagus saja, bisa memberi solusi, juga sama-sama menguntungkan. Anak-anak bisa lebih mudah, aman dan tempat usaha pun bisa ramai.
Sekarang kafe ini menjadi sangat populer di antara beberapa kafe di sekitarnya, bisa dibilang hampir tidak pernah tidur. Wifi bukan prioritas utama lagi, orang-orang ketagihan dengan suasana keramaian tempat ini, ngobrol, bermain game, mengerjakan tugas, atau sekedar mampir sebentar untuk makan dan minum.
Tua muda menjadi langganan setiap malam dan kalau boleh bicara lebih, kafe ini seperti candu di malam hari, sekali tutup (libur) banyak yang merasa kelam. Maklum kami orang desa yang butuh keramaian dan suasana berkumpul yang berbeda, bukan melulu di tempat kerja, grup whatsapp RT atau kegiatan-kegiatan formal di balai desa.
Pak Heri sebagai pemilik sepertinya benar-benar menyadarinya. Kini tempat ini tidak hanya menjual atau menyediakan makanan atau minuman saja, tetapi juga menjadi ruang aktualisasi diri, khususnya mereka yang hobi memainkan alat musik dan bernyanyi. Mereka dipersilahkan membawa alat musik masing-masing, sedangkan yang lain boleh menyumbangkan lagu atau sekedar menonton. Semuanya free alias GRATIS asalkan tertib dan sesuai jadwal yang ditentukan.
Boendaran Coffee, ini adalah salah satu dari beberapa kafe di desa ini yang buka hingga larut malam. Di balik ramainya kafe ini rupanya tersimpan sebuah cerita yang menjadi motivasi bagi pemiliknya.
Ceritanya..... Suatu malam sekitar pukul 23.00 wib ia sedang dalam perjalanan pulang, mengendarai mobilnya dari arah Tanjung Uban menuju Sei Kecil, Desa Sebong Lagoi. Di jalan ia melihat beberapa orang remaja mengalami kecelakaan sepeda motor. Ia menepikan kendaraan dan berusaha menolong, syukur anak-anak itu tidak apa-apa. Rupanya mereka juga dari Tanjung Uban, hendak pulang ke rumah usai mengerjakan tugas sekolah. Gara-gara wifi di desa lemot, maka mereka memutuskan pergi ke Tanjung Uban mencari kafe dengan koneksi wifi yang lebih bagus.
Setelah kejadian itu ia terpikir, kalau anak-anak di desa sampai ke Uban hingga larut malam cuma buat kerja tugas atau nongkrong cari wifi itu cukup kasihan, bisa menimbulkan berbagai resiko. Mengapa tidak memasang wifi yang bagus saja, bisa memberi solusi, juga sama-sama menguntungkan. Anak-anak bisa lebih mudah, aman dan tempat usaha pun bisa ramai.
Sekarang kafe ini menjadi sangat populer di antara beberapa kafe di sekitarnya, bisa dibilang hampir tidak pernah tidur. Wifi bukan prioritas utama lagi, orang-orang ketagihan dengan suasana keramaian tempat ini, ngobrol, bermain game, mengerjakan tugas, atau sekedar mampir sebentar untuk makan dan minum.
Tua muda menjadi langganan setiap malam dan kalau boleh bicara lebih, kafe ini seperti candu di malam hari, sekali tutup (libur) banyak yang merasa kelam. Maklum kami orang desa yang butuh keramaian dan suasana berkumpul yang berbeda, bukan melulu di tempat kerja, grup whatsapp RT atau kegiatan-kegiatan formal di balai desa.
Pak Heri sebagai pemilik sepertinya benar-benar menyadarinya. Kini tempat ini tidak hanya menjual atau menyediakan makanan atau minuman saja, tetapi juga menjadi ruang aktualisasi diri, khususnya mereka yang hobi memainkan alat musik dan bernyanyi. Mereka dipersilahkan membawa alat musik masing-masing, sedangkan yang lain boleh menyumbangkan lagu atau sekedar menonton. Semuanya free alias GRATIS asalkan tertib dan sesuai jadwal yang ditentukan.
Kembali ke cerita sebelumnya, setiba saya di sana Pak Heri terlihat sedang mengurus orderan. Ada tiga atau empat meja yang terisi, semuanya orang dewasa. Wajar saya datang sudah pukul 01.00 dini hari dan anak-anak muda yang biasanya bermain musik sudah pada bubar.
Ada yang beda bila datang selarut ini, Pak Heri selalu memutar lagu - lagu kesukaannya. "Best of 60s", playlist yang bersisi lagu para musisi terkenal di masanya, mulai dari Jemes Brown, Jimi Hendrix, Etta James, hingga Patsy Cline.
Rencana malam itu saya ingin menyelesaikan beberapa draft tulisan, tetapi kandas karena beberapa hal yang sulit dihindari. Di antaranya adalah kopi saya yang terlalu nikmat dan lagu yang bersenandung terlalu romantis, sayang untuk dilewatkan. Kkkk....
Beberapa saat kemudian Pak Heri menghampiri saya yang tengah duduk berteduh di halaman kafe, tepatnya di meja berpayung warna-warni. Ia duduk dan menegur, "lama-lama pakai kacamata juga kau...". Mungkin gara-gara melihat saya terlalu serius menatap layar mesin ketik ini. Ia kemudian menyodorkan microfon memaksa saya bernyanyi, tak bisa ditolak dan akhirnya kafe tutup menjelang subuh.
Sekian....
Ada yang beda bila datang selarut ini, Pak Heri selalu memutar lagu - lagu kesukaannya. "Best of 60s", playlist yang bersisi lagu para musisi terkenal di masanya, mulai dari Jemes Brown, Jimi Hendrix, Etta James, hingga Patsy Cline.
Rencana malam itu saya ingin menyelesaikan beberapa draft tulisan, tetapi kandas karena beberapa hal yang sulit dihindari. Di antaranya adalah kopi saya yang terlalu nikmat dan lagu yang bersenandung terlalu romantis, sayang untuk dilewatkan. Kkkk....
Beberapa saat kemudian Pak Heri menghampiri saya yang tengah duduk berteduh di halaman kafe, tepatnya di meja berpayung warna-warni. Ia duduk dan menegur, "lama-lama pakai kacamata juga kau...". Mungkin gara-gara melihat saya terlalu serius menatap layar mesin ketik ini. Ia kemudian menyodorkan microfon memaksa saya bernyanyi, tak bisa ditolak dan akhirnya kafe tutup menjelang subuh.
Sekian....
8 komentar
wah asik kafenya mas. malam malam kadang mata gak mau tidur mas. ya paling asik ngopi di kafe gini. btw itu cafenya asik juga bisa nyanyi asik asikan. mantap dah
BalasHapuswow..kuat juga matanya bergadang ampe jam 1 malam ya ? namun thanks infonya setidaknya tau bahwa didaerah sei kecil ada cafe yang buka sampai larut malam :)
BalasHapusBarokah banget kafenya,
BalasHapus"untuk memudahkan warga lokal agar tak jauh2 ke Uban".
wah asyik nih kafenya
BalasHapusntar ke klu uban mampirlah
makanan yang rekomended apa aja ?
Menu yang tersedia standar kak. Kalau makanan ada Nasi goreng, mie, ayam penyet dan lele. Yang paling saya suka nasi gorengnya, rekomended!!!
HapusWidih ngopi dini hari itu tidurnya kapan? Kalau saya bisa melek ampe besok siang tu... Sekarang kalau sudah sore saja sudah gak berani ngopi karena takut gak bisa tidur... BTW makanya cepat-cepat punya bini biar pikirannya gak menjurus... hwhwhwhwhw
BalasHapusTempatnya terlalu asyik sampai draft tulisannya tetap aja jadi draft, belum juga naik kelas..hehe. aku juga sering kayak gitu kak...
BalasHapusLearning Indonesian
BalasHapusIndonesian Courses
Indonesian Courses
Lembaga Kursus Terbaik Indonesia
Service Center HP
Lembaga Kursus Terbaik Indonesia
Makalah Usaha Bisnisilmu konten
Makalah Elektronika